Sebening Prasangka - Musa Rizal Al Fath
News Update
Loading...

Wednesday, January 22, 2020

Sebening Prasangka



Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Kita terhijab dalam kegelapan. Kita tertabir dari suatu keadaan yang kita sebut sebagai masa depan. dalam kepekatan itu, kita hanya bisa mengira-ngira. Kita menduga-duga. Kita berprasangka. Bisa baik bisa buruk. Bisa optimis, bisa pesimis, itu semua pilihan.


Sepanjang kehidupan yang kita lalui ini, sebenarnya kita telah menjadi saksi dahsyatnya kekuatan baik sangka. Kita tak mungkin berani berbaring, sebab seperti ditulis dalam data, empat per lima kematian terjadi di atas ranjang. Kita tak mungkin berani bersantap, sebab aneka kuman dan virus yang jutaan itu ada dalam sesuap nasi. Dan masih banyak lagi.


Dalam keadaan yang benar-benar sempat merenggut ketenangan hati kita ini. kita bertarung dengan diri kita sendiri. Kita berdebat dengan pikiran kita sendiri. Kita resah dan dibikin khawatir oleh pikiran-pikiran kita sendiri.


Seperti yang pernah tertulis dalam “Dunia Membuat Gila” kita terjebak dalam stigma-stigma realita dunia, yang seakan-akan logis dan realistis, padahal itu semua belum terjadi. Pada akhirnya, kita dihantui ketakutan yang kita munculkan sendiri.


Tentang masa depan, sebuah hal yang selalu dicemaskan oleh banyak orang.  Sebuah hal yang selalu dikhawatirkan, dan sangat menguji keikhlasan seseorang. Ketenangan hati pun bisa saja menghilang, bersama secerca mimpi dan sebuah harapan. Yahh.. itu lah yang dinamakan masa depan.


Dari Sabiq Ukhrowi,
Ada kisah tentang ayah dan anak. Sang ayah yang merupakan bekas budak. Selama menjabat, setiap hari jum’at (hari libur nasional bagi budak) dimanfaatkannya habis-habisan untuk bekerja.


Setelah dirham demi dirham terkumpul, dia izin menebus dirinya pada sang majikan. Dengan penuh takjub, sang majikan pun membebaskannya dan mengembalikan separuh dari uang tersebut seraya berpesan supaya digunakan untuk memulai kehidupannya yang baru. Dan dengan penuh keharuan lagi khawatir dia pamit “Aku tidak tahu wahai tuanku yang baik, apakah ini berkah atau musibah, aku hanya berprasangka baik kepada Allah”.


Tahun demi tahun berlalu, dia pun menikah, berkeluarga hingga mempunyai seorang putra. Sayang, sang istri wafat saat sang anak berusia 2 tahun. Maka dididiklah si anak dengan penuh kasih sayang.


Si anak beranjak dewasa, sang ayah mengajak si anak untuk memersiapkan diri menyambut panggilan jihad. Si anak pun mengiyakan, dengan penuh antusias sang ayah mengeluarkan kantung berisi dinar-dinar yang bergemerincing.


Siangnya, mereka kembali dari pasar dengan membawa seekor kuda perang hitam yang gagah. Banyak tetangga mengaguminya. Namun, seperti halnya Luqman Hakim dan anaknya, tak sedikit orang yang mencemooh mereka. Mereka hanya berkata, “Kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”


Tak hanya itu, masih banyak rahmat maupun musibah yang menerpa mereka. Mulai dari hilangnya si kuda dan tiba-tiba kembali dengan membawa kuda-kuda liar lain, si anak yang terjatuh saat naik kuda hingga patah kakinya, dan masih banyak lagi. Lagi-lagi yang terucap dari lisan mereka ialah, “Kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”


Singkat cerita, tak berapa lama kemudian panggilan jihad pun datang. Pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan menyerbu serta membumihanguskan wilayah Islam hingga rata dengan tanah. Ayah dan anak itu pun menyongsong panggilannya. Mereka bergegas menyambut jihad dengan kalimat agungnya, “Kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”


Maka sang ayah pun menemui syahidnya. Dan si anak tertangkap pasukan Mongol dan dijual sebagai budak. Dia berpindah-pindah tangan hingga sampai kepada Al-Kamil, seorang Sultan Ayyubiyah di Kairo.


Ketika pemerintahan Mamluk menggantikan wangsa Ayyubiyah di Mesir, kariernya menanjak dari budak menjadi komandan kecil, lalu panglima pasukan, kemudian Amir wilayah. Terakhir, setelah wafatnya Az-Zahir Ruknuddin Baibars, dia diangkat menjadi Sultan. Namanya adalah Al-Mansur Saifuddin Qolawun.


Inilah sekelumit cerita tentangnya. Qolawun yang berani berprasangka baik dalam segala keadaan. Qolawun yang berani berkata, “Kami tak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.” Seperti kisahnya, ada berjuta kebaikan yang mengiringi prasangka baik kita kepada-Nya.


Dia senantiasa bersama kita, karena kita mengingat-Nya juga dengan sangkaan kebaikan. Siapa yang menyangka..? Seorang budak bisa menjadi seorang sultan....?? Luar biasa bukan...? Tapi itulah yang terjadi.


Dari kisah di atas, dapat kita simpulkan, bahwa kita tak perlu terlalu mengkhawatirkan masa depan. kita tak perlu digilakan oleh keadaan. Kita hanya perlu berprasangka baik kepada Allah. Bukankah Allah tak pernah meninggalkan hambanya...? tugas kita hanya memaksimalkan ikhtiar, urusan hasil biarkan Allah yang menentukan





“tak perlu khawatir, rezeki sudah tertakar, dan jodoh tidak akan tertukar”

Shazarft 2020

Share with your friends

Give us your opinion

Notification
didedikasikan untuk diri sendiri.
Done